![]() |
Kekuasaan di Hijaz sebelum adanya Islam merupakan gambaran tentang struktur
politik dan sosial yang berakar pada sistem kesukuan yang kuat. Wilayah Hijaz,
yang mencakup kota-kota utama seperti Makkah, Madinah (sebelumnya Yathrib), dan
Thaif, memiliki karakteristik pemerintahan yang unik dibandingkan dengan daerah
Arab lainnya. Tidak seperti kerajaan-kerajaan besar di Yaman, Hira, dan Syam,
yang memiliki raja-raja dan struktur pemerintahan monarki, Hijaz lebih
didominasi oleh kekuasaan suku dan kabilah.
Secara geografis, Hijaz terletak di jalur perdagangan penting antara Yaman
di selatan dan Syam di utara. Letak strategis ini menjadikan wilayah tersebut sebagai
pusat ekonomi dan sosial yang cukup berpengaruh. Karena kondisi geografisnya
yang didominasi oleh gurun dan pegunungan, Hijaz tidak berkembang menjadi
kerajaan besar seperti Yaman atau Persia. Sebaliknya, pemerintahan di Hijaz
berpusat pada sistem kesukuan yang mengandalkan pemimpin kabilah sebagai
otoritas utama.
Di antara suku-suku yang memiliki pengaruh besar di Hijaz, suku Quraisy di
Makkah adalah yang paling dominan sebelum Islam. Quraisy selain menguasai
perdagangan di kota suci tersebut suku itu juga bertanggungjawab atas
pemeliharaan Ka’bah, tempat suci yang dihormati oleh berbagai suku di Jazirah
Arab. Kepemimpinan di Makkah tidak dipegang oleh seorang raja, melainkan oleh
pemuka-pemuka suku yang membentuk semacam dewan yang disebut Darun Nadwah.
Dewan itu berfungsi untuk mengambil keputusan penting terkait perdagangan,
keamanan, dan hubungan dengan suku-suku lain.
Selain Makkah, Madinah (Yathrib) memiliki struktur sosial dan politik yang
lebih kompleks. Kota itu dihuni oleh dua suku Arab utama, yakni Aus dan
Khazraj, serta beberapa komunitas Yahudi yang telah lama menetap di sana.
Sebelum Islam, Yathrib sering dilanda konflik antar suku, terutama antara Aus
dan Khazraj, yang bersaing untuk mendapatkan supremasi di kota tersebut. Tidak
adanya pemimpin tunggal yang kuat menyebabkan kondisi politik Yathrib sangat
tidak stabil, sering kali diwarnai oleh perang saudara dan persekutuan yang
silih berganti.
Thaif, kota lain yang cukup berpengaruh di Hijaz, dikenal sebagai pusat
pertanian dan perdagangan. Kota itu dikuasai oleh suku Tsaqif, yang berhasil
mempertahankan kemandirian mereka dari pengaruh Quraisy dan kerajaan-kerajaan
besar lainnya. Keberhasilan Thaif dalam mempertahankan otonominya sebagian
besar disebabkan oleh letak geografisnya yang strategis dan ekonominya yang
kuat.
Kondisi politik di Hijaz sebelum Islam dapat digambarkan sebagai sistem yang
terfragmentasi, tanpa pemerintahan sentral yang kuat. Masing-masing suku
memiliki otonomi sendiri dan sering kali terlibat dalam persaingan serta
peperangan antar suku. Tidak ada satu otoritas pun yang mampu menyatukan
seluruh wilayah Hijaz secara politik. Meskipun tidak memiliki pemerintahan
terpusat, kota-kota di Hijaz tetap memiliki pengaruh yang besar dalam aspek
perdagangan, agama, dan budaya di Jazirah Arab.
Salah satu faktor penting yang memengaruhi stabilitas politik di Hijaz adalah
hubungan dengan kerajaan-kerajaan besar di sekitarnya, seperti Bizantium,
Persia, dan Kerajaan Himyar di Yaman. Meskipun tidak berada di bawah kendali
langsung kerajaan-kerajaan tersebut, Hijaz sering kali menjadi medan
pertempuran kepentingan antara kekuatan-kekuatan besar tersebut. Quraisy,
misalnya, menjalin hubungan dagang dengan Bizantium dan Persia, serta berperan
sebagai perantara dalam perdagangan antara Yaman dan Syam.
Secara sosial, masyarakat Hijaz sebelum Islam masih menganut sistem
jahiliyah, di mana praktik-praktik seperti kesukuan yang fanatik, perang antar
kabilah, perbudakan, serta ketidakadilan sosial menjadi hal yang umum. Tetapi meskipun
sistem sosialnya masih terbelakang dalam beberapa aspek, Hijaz memiliki tradisi
yang kuat dalam bidang sastra, terutama syair dan puisi, yang menjadi media
utama untuk mengungkapkan identitas dan kebanggaan suku.
0 Reviews :
Posting Komentar