Beberapa dekade sebelum cahaya kenabian menyinari
Jazirah Arab, Mekah adalah pusat perdagangan dan tempat yang dikenal karena Ka’bah
yang dikeramatkan oleh berbagai suku Arab. Di kota itu, pada tahun yang dikenal
sebagai ‘Am al-Fil—tahun ketika pasukan
bergajah Abrahah menyerang Ka’bah namun gagal total—lahirlah seorang anak dari
keluarga terhormat, keturunan Bani Hasyim. Anak itu diberi nama Muhammad bin
Abdullah bin Abdul Muthalib, yang kelak menjadi Rasul terakhir.
Ayahnya, Abdullah, wafat ketika Muhammad
masih berada dalam kandungan ibunya, Aminah binti Wahb. Keluarga Bani
Hasyim dikenal sebagai keluarga terpandang di kalangan Quraisy, memiliki
kehormatan besar dalam menjaga Ka’bah dan memberikan pelayanan kepada para
peziarah yang datang ke Mekah. Setelah kelahiran Muhammad, kakeknya Abdul Muthalib sangat bersukacita. Ia
membawa bayi itu ke depan Ka’bah, bersyukur kepada Allah, dan memberinya nama
“Muhammad,” sebuah nama yang pada masa itu jarang digunakan oleh orang Arab.
Muhammad kecil hidup dalam kasih sayang
ibunya, Aminah, namun kebiasaan masyarakat Mekah saat itu adalah menitipkan
bayi mereka kepada perempuan-perempuan dari perkampungan di luar kota agar
tumbuh sehat dalam udara yang bersih. Muhammad pun diserahkan kepada Halimah
as-Sa’diyah, seorang perempuan dari Bani Sa’d. Di rumah
Halimah, Muhammad tumbuh menjadi anak yang tenang, penuh kepribadian, dan
membawa keberkahan bagi keluarga asuhnya. Ternak mereka menjadi subur, air
melimpah, dan kehidupan mereka terasa lebih baik sejak Halimah mengasuhnya.
Setelah beberapa tahun, Halimah mengembalikan
Muhammad kepada ibunya di Mekah. Muhammad saat itu berusia sekitar lima tahun.
Ia kemudian tinggal bersama ibunya hingga usia enam tahun. Pada suatu hari,
Aminah mengajaknya melakukan perjalanan ke Yatsrib (kini Madinah) untuk
menziarahi makam ayahnya, Abdullah. Di perjalanan pulang dari Yatsrib, Aminah
jatuh sakit di sebuah tempat bernama Abwa’ dan meninggal dunia di sana.
Muhammad kecil menjadi yatim piatu.
Kakeknya, Abdul Muthalib, kemudian mengambil
alih tanggung jawab memeliharanya. Kakeknya sangat menyayangi cucunya itu,
sering kali menempatkannya di tempat terhormat di sisinya saat pertemuan dengan
para pembesar Quraisy. Namun kasih sayang itu hanya berlangsung dua tahun.
Ketika Muhammad berusia delapan tahun, Abdul Muthalib meninggal dunia. Sebelum
wafat, ia berpesan agar Abu Thalib, salah satu putranya,
menjaga Muhammad.
Abu Thalib menjalankan pesan itu dengan
sepenuh hati. Ia memperlakukan Muhammad seperti anak kandungnya sendiri,
meskipun hidupnya sederhana dan tidak sekaya saudara-saudaranya. Dalam asuhan
Abu Thalib, Muhammad tumbuh menjadi remaja yang sopan, jujur, dan disegani oleh
lingkungan sekitarnya. Sejak kecil ia telah menunjukkan watak yang berbeda dari
anak-anak seusianya. Ia tidak suka berbuat nakal, tidak pernah mengikuti
perbuatan yang dianggap memalukan, dan lebih suka merenung.
Ketika beranjak remaja, Muhammad mulai
menggembala kambing untuk membantu perekonomian keluarganya. Ia sering
menggembala ternak milik penduduk Mekah dengan upah yang sederhana. Dari
pekerjaan itu, ia mulai mengenal kehidupan masyarakat, memahami kesabaran, dan
melatih dirinya untuk mandiri.
Pada usia dua belas tahun, Muhammad ikut
pamannya, Abu Thalib, dalam perjalanan dagang menuju Syam (Suriah).
Dalam perjalanan itu, rombongan mereka berhenti di daerah Busra,
dan di sana mereka bertemu dengan seorang rahib bernama Buhaira.
Buhaira memperhatikan tanda-tanda kenabian yang tampak pada diri Muhammad. Ia
memperingatkan Abu Thalib agar berhati-hati menjaga anak itu karena suatu saat
nanti ia akan memiliki kedudukan besar. Setelah mendengar nasihat itu, Abu
Thalib segera membawa Muhammad kembali ke Mekah untuk melindunginya.
Seiring bertambahnya usia, Muhammad mulai
terjun ke dunia perdagangan secara mandiri. Ia dikenal jujur dalam berniaga,
tidak pernah menipu dalam timbangan, dan selalu menepati janji. Karena
kejujurannya yang luar biasa, masyarakat Mekah memberinya julukan Al-Amin,
yang berarti “yang terpercaya.” Nama itu menjadi gelar kehormatan yang melekat
kuat pada dirinya jauh sebelum ia menerima wahyu.
Pada usia dua puluh lima tahun, Muhammad mulai
dikenal luas di kalangan pedagang. Kejujurannya menarik perhatian Khadijah binti
Khuwailid, seorang janda kaya dan terhormat di Mekah. Khadijah
kemudian mempercayakan barang dagangannya kepada Muhammad untuk dibawa ke Syam.
Muhammad melaksanakan amanah itu dengan penuh tanggung jawab, membawa
keuntungan besar bagi Khadijah. Melihat kepribadian dan kejujuran Muhammad,
Khadijah tertarik dan akhirnya mereka menikah. Pernikahan itu berlangsung
ketika Muhammad berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh
tahun.
Setelah menikah, kehidupan Muhammad menjadi
lebih tenang. Ia menghabiskan banyak waktu di rumah bersama keluarganya dan
terus terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat Mekah. Dari pernikahan dengan
Khadijah, lahirlah beberapa anak, di antaranya Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu
Kulthum, Fatimah, dan Abdullah.
Beberapa tahun kemudian, ketika Muhammad
berusia sekitar tiga puluh lima tahun, masyarakat Quraisy bersepakat untuk merenovasi
Ka’bah, karena bangunannya sudah mulai rapuh akibat banjir
besar. Saat proses pembangunan mencapai bagian pemasangan Hajar Aswad,
muncul pertikaian besar antar suku mengenai siapa yang berhak meletakkan batu
suci itu pada tempatnya. Perselisihan itu nyaris menimbulkan pertumpahan darah.
Namun seorang tetua Quraisy mengusulkan agar orang yang pertama kali masuk ke
Masjidil Haram pada pagi hari dijadikan penengah. Orang itu ternyata Muhammad.
Ketika Muhammad datang, semua orang berseru
gembira karena mereka percaya pada kejujurannya. Muhammad kemudian menggelar
selembar kain, menempatkan Hajar Aswad di tengahnya, dan meminta setiap kepala
suku memegang ujung kain itu bersama-sama. Setelah batu itu diangkat mendekati
tempatnya, Muhammad mengambilnya dengan tangannya sendiri dan meletakkannya
pada posisi semula. Dengan cara itu, pertikaian besar dapat dihindari, dan
seluruh suku merasa dihormati.
Begitulah kehidupan Muhammad sebelum
kenabian—seorang anak yatim yang tumbuh dalam kejujuran, pekerja keras yang
dipercaya banyak orang, dan pribadi yang disegani di tengah masyarakat Mekah.
Ia belum menjadi Rasul pada masa itu, namun seluruh penduduk sudah mengenalnya
sebagai sosok yang berakhlak mulia, terpercaya, dan membawa ketenangan di mana
pun ia berada.
Ketika
waktu kenabian tiba, semua peristiwa masa lalunya—kelahiran, pengasuhan,
perjalanan dagang, dan pengalamannya memimpin penyelesaian sengketa—menjadi
bagian dari kisah yang kelak mengantarkannya kepada tugas besar sebagai pembawa
risalah terakhir bagi umat manusia.

0 Reviews :
Posting Komentar