Beberapa waktu setelah Rasulullah SAW kembali dari perjalanan dagang ke Negeri Syam, nama beliau semakin dikenal di kalangan para saudagar Quraisy. Semua orang tahu betapa jujurnya Muhammad bin Abdullah dalam berdagang. Ia tidak pernah menipu, tidak pernah mengambil hak orang lain, dan selalu menjaga kepercayaan. Sifat itulah yang membuat Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita bangsawan dan saudagar terpandang di Makkah, semakin tertarik kepada sosok Muhammad.
Khadijah adalah wanita yang berumur empat puluh
tahun ketika itu. Ia berasal dari keluarga terhormat dan dikenal sebagai
perempuan cerdas serta berwibawa. Sebelumnya, ia pernah menikah dua kali dan
telah menjadi janda dengan harta yang melimpah. Meskipun banyak lelaki Quraisy
terpandang yang meminangnya, ia selalu menolak dengan halus. Namun kali ini
berbeda. Setelah mendengar laporan Maisarah, pembantunya yang ikut menemani
Muhammad dalam perjalanan ke Syam, hatinya mulai luluh.
Maisarah menceritakan bagaimana kejujuran Rasulullah
SAW selama berdagang. Ia bercerita tentang bagaimana Nabi selalu berperilaku
sopan, tidak pernah bersumpah palsu, dan tidak mengambil keuntungan yang tidak
adil. Ia juga menceritakan bahwa sepanjang perjalanan, ada tanda-tanda yang
membuat Khadijah semakin yakin bahwa Muhammad bukan manusia biasa. Maisarah
bahkan berkata bahwa awan seolah menaungi Muhammad dari panas matahari ketika
dalam perjalanan. Cerita itu membuat Khadijah termenung lama.
Beberapa hari kemudian, Khadijah mengutus
sahabat dekatnya bernama Nafisah binti Munabbih untuk menyampaikan perasaannya.
Nafisah mendatangi Rasulullah SAW dan membuka pembicaraan dengan hati-hati. Ia
berkata,
“Wahai Muhammad, mengapa engkau belum menikah?” Nabi tersenyum dan menjawab
dengan tenang, “Aku belum mempunyai kemampuan untuk itu.”
Nafisah lalu berkata,
“Bagaimana jika ada wanita bangsawan, cantik, berharta, dan berakhlak mulia
yang ingin menikah denganmu, apakah engkau mau?”
Nabi menatapnya heran,
“Siapakah wanita itu?” Nafisah menjawab dengan senyum, “Khadijah binti
Khuwailid.”
Mendengar nama itu, Muhammad terdiam sejenak.
Ia tahu siapa Khadijah. Semua orang di Makkah mengenalnya sebagai wanita
terhormat. Nabi pun tidak menolak gagasan itu. Ia kemudian meminta izin kepada
paman-pamannya untuk membicarakan hal tersebut lebih lanjut. Abdul Muththalib
telah tiada saat itu, sehingga yang menjadi pengasuh Nabi adalah Abu Thalib.
Abu Thalib sangat mendukung keinginan keponakannya dan menganggap Khadijah
sebagai pasangan yang pantas.
Beberapa hari kemudian, rombongan keluarga
Muhammad mendatangi rumah Khadijah untuk melamar secara resmi. Abu Thalib
menjadi juru bicara dalam acara itu. Dalam pidatonya, ia berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kami dari keturunan Ibrahim
dan dari anak-anak Ismail. Muhammad, keponakanku, seorang yang tidak ada
bandingannya di antara pemuda Quraisy. Ia tidak berharta banyak, tetapi
kekayaannya ada pada kejujuran dan akhlaknya.”
Khadijah menerima lamaran itu dengan hati yang
lapang. Ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan rapi. Mahar yang disepakati
adalah dua puluh ekor unta muda. Pernikahan itu berlangsung di hadapan para
kerabat dari kedua belah pihak dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada pesta yang
berlebihan, tidak ada kemewahan yang mencolok. Hanya doa dan rasa syukur yang
mengisi hari itu.
Setelah menikah, Muhammad tinggal di rumah
Khadijah. Rumah itu besar dan terletak di tengah kota Makkah. Kehidupan rumah
tangga mereka berjalan harmonis. Khadijah mempercayakan seluruh urusan dagangnya
kepada suaminya, sementara beliau tetap menjalani kehidupan yang sederhana.
Walaupun Khadijah memiliki kekayaan melimpah, Nabi tetap rendah hati dan
membantu pekerjaan rumah.
Dari pernikahan itu lahirlah beberapa anak.
Anak pertama mereka adalah Qasim, disusul Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum,
Fatimah, dan Abdullah. Dua anak laki-laki mereka meninggal di usia kecil,
sedangkan anak-anak perempuan tumbuh dengan baik di bawah asuhan kasih sayang
kedua orang tuanya. Rumah mereka selalu menjadi tempat yang hangat dan penuh
cinta.
Khadijah selalu mendukung suaminya dalam
setiap hal. Ia tidak hanya menjadi istri, tetapi juga sahabat dan penopang
kehidupan Nabi. Ketika Muhammad menyendiri di Gua Hira untuk merenung, Khadijah
tidak pernah mengeluh. Ia menyiapkan makanan, menjaga anak-anak, dan selalu
menunggu dengan sabar. Dalam setiap keheningan malam, Khadijah sering berdoa
agar suaminya selalu dilindungi oleh Allah.
Pernikahan mereka berlangsung selama sekitar
dua puluh lima tahun. Sepanjang itu, Nabi tidak pernah menikah dengan wanita
lain. Hubungan mereka dibangun atas dasar saling menghargai dan saling
memahami. Tidak ada pertengkaran, tidak ada perebutan harta, tidak ada saling
curiga. Khadijah menjadi tempat bernaung, sementara Muhammad menjadi pelindung
dan penuntun keluarga mereka.
Bertahun-tahun kemudian, ketika masa kenabian
tiba dan wahyu pertama turun di Gua Hira, Khadijah adalah orang pertama yang
menenangkan beliau. Ia juga menjadi orang pertama yang beriman kepada kerasulan
suaminya. Dalam masa-masa sulit dakwah awal, Khadijah mengorbankan seluruh
hartanya untuk membantu perjuangan Islam. Namun sebelum masa-masa besar itu
datang, hubungan cinta mereka sudah terjalin kuat, jauh sebelum risalah itu
diturunkan.

0 Reviews :
Posting Komentar