Pada masa itu, usia Muhammad bin Abdullah telah mencapai tiga puluh lima
tahun. Kota Makkah tengah berkembang pesat sebagai pusat perdagangan dan
ziarah. Setiap tahun, ribuan orang dari berbagai kabilah Arab datang untuk
menunaikan ibadah di Ka'bah, rumah ibadah peninggalan Nabi Ibrahim dan Ismail
yang telah berdiri sejak berabad-abad sebelumnya. Bangunan Ka'bah yang telah
tua mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan. Dindingnya retak, atapnya lapuk,
dan pondasinya melemah akibat banjir besar yang sempat melanda lembah Makkah.
Kaum Quraisy, sebagai penjaga Ka'bah, merasa
perlu untuk merenovasi bangunan suci itu agar tidak roboh dan membahayakan
jamaah. Mereka bermusyawarah untuk memutuskan langkah-langkah perbaikan. Namun,
semua sepakat bahwa pekerjaan itu tidak boleh dilakukan dengan sembarangan.
Mereka bertekad menggunakan hanya harta yang bersih tidak berasal dari hasil
riba, perjudian, atau kezaliman. Karena itu, dana yang terkumpul tidak sebanyak
yang diharapkan, sehingga mereka harus membuat keputusan bijak tentang bahan dan
bentuk bangunan yang baru.
Pekerjaan pun dimulai. Kaum Quraisy membagi
tugas di antara kabilah-kabilahnya. Ada yang bertanggung jawab membawa batu
dari bukit, ada yang mengangkut kayu, dan ada pula yang mengatur pembangunan
dinding. Batu-batu besar diambil dari Bukit Abu Qubais, sementara kayu untuk
atapnya dibawa dari kapal yang kandas di pantai Jeddah.
Sebelum pembangunan dimulai, muncul rasa takut
di antara mereka. Tidak seorang pun berani menyentuh bangunan Ka'bah terlebih
dahulu. Mereka khawatir akan murka Tuhan. Dalam ketakutan itu, salah seorang
tokoh Quraisy bernama Al-Walid bin Mughirah berkata,
“Aku akan memulainya. Jika aku mati, jangan lanjutkan; tetapi jika aku
selamat, itu tanda bahwa Allah meridai pekerjaan ini.”
Dengan tekad bulat, Al-Walid mendekati
bangunan Ka'bah, memegang kapak, dan mulai mencungkil satu batu dari
dindingnya. Orang-orang yang menyaksikan menahan napas. Hari itu berlalu, dan
Al-Walid tidak mengalami apa pun. Melihat hal itu, orang-orang Quraisy pun
berani melanjutkan pekerjaan renovasi. Mereka mulai membongkar seluruh dinding
hingga ke pondasi yang dulu diletakkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Ketika
menggali lebih dalam, mereka menemukan batu-batu besar bertulis huruf-huruf
yang tidak mereka mengerti. Batu itu mereka biarkan sebagai penanda pondasi
lama.
Pembangunan berlangsung dengan semangat
tinggi. Setiap kabilah ingin mengambil bagian dalam pekerjaan besar itu. Mereka
membangun dinding bersama, bahu-membahu, masing-masing ingin menunjukkan bahwa
mereka adalah penjaga sejati rumah suci itu. Selama beberapa minggu,
pembangunan berjalan tanpa masalah, hingga akhirnya tiba pada bagian yang
paling penting penempatan Hajar Aswad, batu hitam yang menjadi simbol kesucian
Ka'bah.
Di sinilah masalah besar muncul. Hajar Aswad
adalah batu suci yang diletakkan di salah satu sudut Ka'bah. Setiap kabilah
merasa memiliki kehormatan untuk meletakkannya di tempatnya. Kabilah Bani Abdud
Dar berkata,
“Kami yang berhak meletakkannya!” Kabilah Bani Makhzum membantah, “Tidak,
kami yang akan melakukannya!” Suara keras mulai terdengar, dan suasana tegang
menyelimuti Masjidil Haram. Masing-masing kabilah mengangkat senjata, siap
bertempur demi kehormatan mereka.
Pertikaian itu berlangsung selama empat hari.
Hampir saja terjadi peperangan besar di tengah kota suci itu. Namun, sebelum
darah tertumpah, seorang tua dari Quraisy, Abu Umayyah bin Mughirah,
mengusulkan sebuah jalan keluar. Ia berkata, “Wahai kaum Quraisy, jangan
bertengkar! Serahkan keputusan kepada orang pertama yang masuk dari pintu Shafa
pagi ini. Dialah yang akan menentukan siapa yang berhak meletakkan Hajar
Aswad.”
Semua menyetujui usul itu. Pagi pun tiba.
Orang-orang berkumpul di sekitar Ka'bah, menunggu siapa yang akan datang dari
arah Shafa. Tak lama kemudian, seseorang muncul di kejauhan. Ketika sosok itu
semakin dekat, mereka melihat dengan jelas bahwa orang itu adalah Muhammad bin
Abdullah. Seketika suasana berubah. Semua orang berseru, “Inilah Al-Amin! Orang
yang terpercaya! Kami rela dengan keputusannya!”
Muhammad datang dengan tenang. Setelah
mendengarkan semua pihak, beliau berpikir sejenak, lalu berkata, “Bawalah
sehelai kain besar.” Orang-orang segera mengambil sehelai kain lebar dan
membentangkannya di tanah. Rasulullah mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya
di tengah kain itu dengan tangannya sendiri. Setelah itu, beliau berkata kepada
para pemimpin kabilah, “Setiap pemimpin kabilah peganglah sudut kain ini, lalu
angkatlah bersama-sama.”
Empat orang dari empat kabilah berbeda maju
dan memegang keempat sudut kain itu. Mereka mengangkatnya perlahan, membawa
batu itu mendekati sudut dinding Ka'bah. Saat posisi sudah tepat, Rasulullah
mengambil batu itu dengan tangannya, lalu meletakkannya di tempatnya sendiri.
Semua orang menyaksikan momen itu dengan takjub. Pertikaian pun selesai tanpa
pertumpahan darah. Semua pihak merasa dihormati dan senang karena Muhammad
menyelesaikannya dengan cara yang adil dan cerdas.
Pembangunan Ka'bah kemudian diselesaikan
dengan lancar. Struktur bangunannya dibuat sedikit lebih tinggi daripada
sebelumnya. Pintu Ka'bah yang semula sejajar dengan tanah dinaikkan agar tidak
semua orang bisa masuk begitu saja. Setelah seluruh pekerjaan selesai, mereka
mengadakan syukuran besar. Orang-orang Quraisy berkeliling mengelilingi Ka'bah
dengan perasaan bangga, sebab rumah suci itu kini kembali kokoh dan indah.
Setelah peristiwa itu, nama Muhammad semakin
harum di Makkah. Semua kabilah semakin menghormatinya, tidak hanya karena
kebijaksanaannya, tetapi juga karena kejujuran dan sikap adilnya. Tidak ada
yang menyangka bahwa beberapa tahun kemudian, lelaki yang mereka panggil
Al-Amin itu akan membawa risalah yang mengubah sejarah dunia.
Demikianlah
kisah ketika Rasulullah SAW, di usia tiga puluh lima tahun, berhasil
menyelesaikan pertikaian besar di antara kabilah-kabilah Quraisy saat renovasi
Ka'bah. Sebuah peristiwa yang menegaskan ketenangan, kecerdasan, dan kebesaran
jiwa beliau bahkan sebelum masa kenabiannya tiba.

0 Reviews :
Posting Komentar