Dalam sejarah panjang umat Islam, terdapat sebuah kisah agung yang menggambarkan betapa mulianya kedudukan Nabi Muhammad ﷺ di sisi Allah, hingga keberkahan wajah beliau menjadi sebab turunnya rahmat dari langit. Kisah itu dikenal dengan peristiwa meminta hujan dengan wajah beliau, yang diriwayatkan dalam beberapa kitab hadits sahih.
Di tanah Hijaz, khususnya di Madinah al-Munawwarah, masyarakat pernah
menghadapi musim kemarau yang panjang. Panas menyengat membakar pasir,
ladang-ladang kering, dan sumur-sumur mulai menyusut airnya. Daun-daun
berguguran, binatang ternak kehausan, dan manusia mulai merasakan getirnya
hidup tanpa turunnya hujan. Saat itu, seluruh penduduk Madinah berkumpul di
masjid Nabawi, hati mereka penuh kegelisahan, bibir mereka kering, dan wajah
mereka memancarkan doa yang tulus.
Dalam keadaan seperti itu, seorang sahabat bangkit di hadapan Rasulullah
ﷺ. Ia mengadu dengan penuh kerendahan hati,
“Wahai Rasulullah, ternak kami binasa, tanah kami gersang, dan kami sudah
sangat membutuhkan rahmat Allah. Berdoalah kepada Allah agar Dia menurunkan
hujan kepada kami.” Permintaan itu lahir dari hati yang penuh keyakinan, karena
mereka tahu bahwa doa Nabi ﷺ tidak pernah tertolak.
Rasulullah ﷺ pun berdiri. Beliau mengangkat kedua tangannya yang mulia ke
arah langit. Suasana masjid hening, hanya terdengar isakan orang-orang yang
memohon hujan bersama beliau. Beliau menengadahkan wajahnya, penuh harap, dan
melantunkan doa kepada Allah. Saat itu, langit Madinah tampak cerah, tidak ada
awan sama sekali, matahari menyengat tanpa penghalang. Namun, baru saja doa
beliau selesai dipanjatkan, seketika langit berubah.
Awan mendung berarak cepat dari segala penjuru. Angin membawa kelembapan,
cahaya matahari yang menyilaukan tertutup, dan tetes hujan pertama pun jatuh ke
tanah Madinah. Orang-orang yang tadinya kering kerontang, kini menengadahkan
wajah mereka ke arah langit, menangkap tetesan rahmat itu. Hujan pun turun
dengan deras, membasahi pasir, menyuburkan ladang, dan menghidupkan kembali tumbuh-tumbuhan.
Peristiwa itu begitu membekas di hati para sahabat. Mereka menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, bagaimana doa Nabi ﷺ menjadi sebab turunnya
keberkahan dari langit. Mereka pun memahami bahwa beliau bukan sekadar manusia
biasa beliau adalah utusan Allah yang diberi kedudukan tinggi di sisi-Nya.
Setelah beberapa hari hujan terus mengguyur, seorang sahabat kembali
datang kepada Rasulullah ﷺ. Kali ini bukan untuk meminta hujan, tetapi agar
hujan dihentikan, karena banjir mulai melanda dan jalan-jalan tertutup air.
Maka beliau kembali mengangkat kedua tangannya, dan berdoa agar hujan dialihkan
ke daerah sekitar, tidak lagi langsung ke Madinah. Seketika langit Madinah
kembali cerah, sementara hujan turun deras di sekitar kota.
Kejadian itu dikenal dalam sejarah Islam dengan istilah istiskā’ dengan
wajah Rasulullah ﷺ. Hingga setelah beliau wafat, para sahabat tetap menjadikan
keberkahan beliau sebagai wasilah. Tercatat bahwa di masa khalifah Umar bin
Khattab, ketika Madinah dilanda kemarau, beliau tidak langsung berdoa sendiri.
Umar mendatangi Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi ﷺ, lalu berkata:
“Ya Allah, dahulu kami meminta hujan kepada-Mu dengan wajah Nabi-Mu, dan
Engkau menurunkan hujan kepada kami. Kini kami memohon kepada-Mu dengan wajah
paman Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan kepada kami.”
Maka Allah pun menurunkan hujan dengan deras. Dari sini jelas terlihat,
betapa besar keberkahan yang Allah berikan melalui Rasulullah ﷺ dan
keluarganya.
Kisah meminta hujan dengan wajah Nabi ﷺ adalah pelajaran mendalam. Bahwa
Allah menempatkan kekasih-Nya pada derajat yang agung, dan bahwa doa seorang
hamba yang benar-benar dekat dengan Allah bisa menjadi jalan turunnya rahmat
bagi banyak orang. Umat Islam kemudian memahami, bahwa ketaatan kepada Allah,
kecintaan kepada Rasulullah ﷺ, dan doa yang ikhlas adalah kunci datangnya
pertolongan dari langit.

0 Reviews :
Posting Komentar