Ketika Rasulullah SAW berusia dua puluh lima tahun, kehidupan beliau
memasuki babak yang penting dalam perjalanan sebelum diangkat menjadi Rasul.
Pada masa itu, beliau telah dikenal luas di kalangan masyarakat Quraisy sebagai
seorang pemuda yang jujur, amanah, dan memiliki kepribadian yang tenang.
Reputasi itu menyebar bukan hanya di antara kerabatnya, di kalangan para
pedagang dan bangsawan Makkah. Salah satu yang mendengar tentang ketulusan dan
kejujuran beliau adalah seorang wanita terhormat bernama Khadijah binti
Khuwailid, seorang saudagar kaya raya yang memiliki banyak kafilah dagang dan
dikenal sebagai pengusaha sukses di kota Makkah.
Khadijah memiliki kebiasaan menyewa orang-orang
terpercaya untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam, sebuah wilayah yang
makmur dan menjadi pusat perdagangan di masa itu. Ia membutuhkan seseorang yang
dapat dipercaya sepenuhnya untuk mengurus perniagaannya di sana, sebab
perjalanan ke Syam bukanlah hal kecil. Perjalanan itu panjang, melewati lembah,
padang berbatu, dan jalur perdagangan yang sering dipenuhi oleh kafilah dari
berbagai negeri. Di tengah kebutuhan itulah, Khadijah mendengar nama Muhammad
bin Abdullah, pemuda yang dikenal dengan sebutan Al-Amīn yang dapat dipercaya.
Khadijah kemudian mengutus seseorang untuk
menemui beliau dan menawarkan pekerjaan membawa barang dagangannya menuju Syam.
Rasulullah SAW menerima tawaran tersebut dengan senang hati dan rasa tanggung
jawab yang besar. Khadijah juga mengutus seorang budaknya bernama Maisarah
untuk menemani beliau dalam perjalanan, sekaligus mengawasi dan membantu di
sepanjang jalan. Sebelum berangkat, kafilah besar itu dipersiapkan dengan rapi,
membawa berbagai jenis barang dagangan dari Makkah seperti kain, rempah, minyak,
dan wewangian, yang sangat diminati oleh para pedagang di Syam.
Perjalanan menuju Syam memakan waktu
berminggu-minggu. Sepanjang jalan, Muhammad SAW memperlihatkan akhlak yang
luhur dan sikap tenang. Maisarah, yang menjadi saksi perjalanan itu, menyaksikan
bagaimana beliau selalu menjaga diri dari perbuatan yang tidak baik dan
memperlakukan setiap orang dalam rombongan dengan sopan dan penuh hormat.
Beliau tidak pernah berselisih, tidak pernah bersuara keras, dan selalu sabar
dalam menghadapi kesulitan perjalanan. Setiap kali berhenti untuk beristirahat,
beliau turut membantu menyiapkan perbekalan dan tidak bersikap seperti seorang
majikan terhadap Maisarah.
Ketika kafilah itu tiba di wilayah Syam,
mereka disambut dengan ramah oleh para pedagang setempat. Nabi Muhammad SAW
mulai menjalankan urusan dagang dengan hati-hati dan bijaksana. Beliau menawar
dengan jujur, tidak menipu dalam timbangan, dan selalu menyebut harga dengan
adil. Para pedagang Syam kagum dengan kejujuran dan cara berdagang beliau yang
berbeda dari kebanyakan pedagang Makkah lainnya, yang sering menaikkan harga
atau menyembunyikan cacat barang. Dalam waktu singkat, barang-barang dagangan
Khadijah terjual habis dengan keuntungan yang jauh lebih besar dari biasanya.
Maisarah menyaksikan kejujuran dan ketegasan
beliau dalam setiap transaksi. Tidak hanya itu, Maisarah juga memperhatikan
beberapa hal luar biasa selama perjalanan. Ia melihat bahwa saat Rasulullah SAW
beristirahat di bawah pohon, bayangan pohon seakan condong menaungi beliau dari
panas matahari. Ada pula seorang pendeta di wilayah Bushra yang memperhatikan
mereka ketika melintas. Pendeta itu menanyakan siapa orang muda yang duduk di
bawah pohon tersebut, lalu berkata kepada Maisarah bahwa tidak pernah ada yang
duduk di bawah pohon itu kecuali seorang nabi yang diutus oleh Allah kelak.
Maisarah menyimpan semua hal itu di dalam hatinya.
Setelah semua urusan dagang selesai dan
keuntungan diperoleh dengan jumlah yang tidak biasa, Muhammad SAW dan Maisarah
pun kembali ke Makkah. Sesampainya di kota itu, Maisarah segera melaporkan
kepada Khadijah segala sesuatu yang terjadi selama perjalanan. Ia menceritakan
kejujuran, kelembutan, dan keberhasilan Muhammad SAW dalam berdagang. Ia juga
menyebutkan tentang tanda-tanda yang ia lihat di sepanjang perjalanan bagaimana Rasulullah selalu dilindungi dan
diperlakukan dengan penuh rasa hormat oleh semua orang yang mereka temui.
Khadijah mendengarkan laporan itu dengan penuh
perhatian. Ia kagum dengan sifat-sifat Nabi Muhammad SAW dan semakin yakin
bahwa beliau bukanlah pemuda biasa. Keuntungan besar yang diperoleh dalam
perjalanan itu juga membuat Khadijah sangat menghargai kemampuan beliau dalam
berniaga. Dari rasa kagum dan hormat itu, tumbuhlah rasa simpati dan kekaguman
yang lebih dalam. Khadijah merasa bahwa di antara banyak orang yang pernah
bekerja untuknya, tidak ada satu pun yang memiliki akhlak sebaik Muhammad bin
Abdullah.
Setelah beberapa waktu, Khadijah memutuskan
untuk mengenal beliau lebih dekat. Melalui perantara sahabatnya, Nafisah binti
Munyah, ia menyampaikan perasaan kagum dan keinginannya untuk menikah dengan
Muhammad SAW. Saat itu, beliau belum menikah dan masih hidup sederhana bersama
pamannya Abu Thalib. Setelah mempertimbangkan dan meminta pendapat keluarganya,
beliau pun menerima lamaran tersebut.
Pernikahan antara Muhammad SAW dan Khadijah
binti Khuwailid berlangsung dalam suasana penuh kebahagiaan. Khadijah saat itu
berusia empat puluh tahun, sementara Nabi Muhammad SAW berusia dua puluh lima
tahun. Pernikahan mereka menjadi awal dari rumah tangga yang penuh keberkahan
dan ketenangan. Khadijah menjadi pendamping setia, penopang dalam perjuangan,
dan pelipur hati di setiap kesulitan yang beliau hadapi di masa-masa
selanjutnya.

0 Reviews :
Posting Komentar