Ketika Nabi Muhammad SAW masih kecil, beliau tinggal di rumah pamannya, Abu
Thalib. Sejak kecil, kehidupan beliau tidak bergelimang harta. Ayahnya,
Abdullah, telah meninggal sebelum beliau lahir, dan ibunya, Aminah, wafat
ketika beliau berusia enam tahun. Setelah itu, beliau diasuh oleh kakeknya,
Abdul Muththalib, sampai kakeknya pun meninggal dunia. Maka tanggung jawab
besar memelihara Nabi Muhammad SAW kecil jatuh ke tangan Abu Thalib, saudara
kandung Abdullah.
Abu Thalib mencintai Nabi Muhammad SAW seperti
anaknya sendiri. Ia tahu betul keponakannya bukan anak biasa. Sejak kecil Nabi
Muhammad SAW tenang, sopan, jarang berbicara tanpa perlu, dan selalu membantu
tanpa disuruh. Di rumah yang sederhana itu, beliau tumbuh dengan kasih sayang,
tetapi juga dengan kesadaran bahwa kehidupan keluarganya tidak mudah. Abu
Thalib memiliki banyak anak, sedangkan penghasilannya terbatas.
Ketika usia Nabi Muhammad SAW mendekati masa
remaja, beliau mulai membantu pamannya dengan bekerja. Di Makkah pada masa itu,
pekerjaan yang paling mudah dijalankan oleh anak muda adalah menggembala
kambing. Maka beliau pun mulai menggembala kambing milik penduduk Makkah.
Kadang kambing itu milik pamannya, kadang milik orang lain yang menitipkan
hewan untuk dijaga dengan upah beberapa qirath.
Setiap pagi, beliau keluar dari rumah membawa
tongkat kayu dan seikat tali. Waktu itu udara Makkah masih sejuk, embun
menempel di batu-batu kecil di lereng-lereng bukit. Suara kambing yang mengembik
terdengar bersahutan dari berbagai arah. Beliau menggiring kambing-kambing itu
ke arah lembah di luar kota, mencari tempat yang masih ada rumput hijau dan
sumber air.
Beliau berjalan di depan, langkahnya tenang,
matanya memperhatikan satu per satu hewan yang digiringnya. Bila ada yang
menjauh dari rombongan, beliau memanggilnya dengan lembut dan menggiringnya
kembali ke tengah kawanan. Kadang beliau duduk di atas batu besar, mengawasi
dari jauh sambil memegang tongkat. Kambing-kambing itu menyebar mencari
makanan, sedangkan beliau tetap awas menjaga agar tidak ada yang hilang.
Siang hari di Makkah terasa terik. Udara panas
menekan dari segala arah. Dalam keadaan seperti itu, beliau sering berteduh di
bawah bayangan batu besar atau pohon kecil yang tumbuh di antara pasir dan
batu. Sambil menunggu kambing-kambingnya makan, beliau duduk diam, sesekali
menatap langit, atau memperbaiki tali yang digunakan untuk menuntun hewan.
Kadang-kadang, anak-anak muda lain yang juga
menggembala kambing lewat di tempat yang sama. Mereka berbincang sejenak, lalu
berpisah menuju arah yang berbeda. Nabi Muhammad SAW muda tidak banyak bicara,
tetapi tutur katanya selalu lembut. Anak-anak gembala lain menghormatinya
karena kejujurannya dan ketenangan sikapnya. Tidak pernah ada yang melihat
beliau berselisih, apalagi bertengkar.
Menjelang sore, ketika matahari mulai condong
ke barat, beliau menggiring kambing-kambing itu pulang. Kawanan itu berjalan
pelan, sebagian berlari kecil, sebagian masih sibuk makan rumput di tepi jalan.
Beliau memastikan semuanya kembali lengkap. Tidak pernah satu pun kambing yang
hilang atau terluka selama diasuh olehnya. Orang-orang Makkah yang
mempercayakan kambing kepada beliau selalu merasa tenang, karena mereka tahu Nabi
Muhammad SAW tidak pernah mengabaikan amanah.
Suatu hari, Abu Thalib memperhatikan
keponakannya pulang dengan membawa kambing dalam keadaan sehat dan gemuk. Ia
tersenyum dan berkata kepada Nabi Muhammad SAW,
“Engkau bekerja seperti orang dewasa, padahal engkau masih sangat muda.” Nabi
Muhammad SAW menjawab dengan tenang,
“Aku ingin meringankan beban paman.” Sejak itu Abu Thalib semakin yakin
bahwa keponakannya kelak akan menjadi orang besar.
Ada pula hari-hari ketika hujan turun di
sekitar Makkah. Jalur menuju tempat penggembalaan menjadi licin dan berlumpur.
Kambing-kambing sering terpeleset atau terperosok ke lubang kecil. Muhammad
selalu turun tangan menolong. Ia mengangkat kambing itu dengan hati-hati,
membersihkan kakinya dari lumpur, lalu menuntunnya kembali. Setiap sore, beliau
membawa kawanan pulang dalam keadaan aman.
Kadang malam tiba sebelum beliau sampai ke
kota. Dalam keadaan gelap, beliau memegang tongkat dengan satu tangan dan
lentera kecil di tangan lainnya. Suara gemericik kaki kambing di bebatuan
menjadi teman sepanjang jalan. Di langit, bintang-bintang bersinar terang di
atas bukit-bukit Makkah. Dalam kesunyian itu, beliau melangkah mantap, tidak
tergesa, seolah telah hafal setiap batu di sepanjang jalan.
Pekerjaan menggembala berlangsung
bertahun-tahun. Semakin lama, orang-orang di sekitar Makkah makin mengenal nama
Nabi Muhammad SAW muda. Bila ada yang kehilangan kambing atau butuh seseorang
untuk menjaganya, mereka berkata,
“Percayakan saja kepada anak Abu Thalib itu. Ia tidak pernah lalai.”
Bahkan, anak-anak kecil yang menggembala bersama beliau sering meniru
caranya meniup seruling atau bersiul pelan untuk memanggil kambing.
Pada masa itu, Makkah bukanlah kota yang
subur. Rumput hanya tumbuh di musim tertentu. Bila musim panas datang, para
penggembala harus berjalan lebih jauh, kadang sampai ke lereng bukit Tihamah. Nabi
Muhammad SAW muda juga pernah berjalan sejauh itu. Ia membawa kantong air kecil
dari kulit kambing dan sepotong roti yang disimpan di kain. Bila lapar, beliau
duduk di bawah batu besar, makan dengan tenang, lalu melanjutkan perjalanan.
Kadang, saat istirahat, beliau membantu
penggembala lain menambal tali yang putus atau mencarikan kambing yang
tersesat. Semua yang bekerja bersamanya tahu, jika Nabi Muhammad SAW berkata
akan menemukan kambing yang hilang, maka kambing itu pasti ditemukan. Ia hafal
jalan, hafal arah, dan hafal setiap lekukan tanah di padang Makkah.
Suatu sore, ketika beliau kembali membawa
kambing, beberapa orang tua duduk di depan Ka’bah memperhatikannya. Mereka
berkata satu sama lain,
“Anak itu berbeda. Lihatlah caranya berjalan, caranya menuntun kambing,
seolah ia menjaga sesuatu yang sangat berharga.”
Seorang yang lain menimpali, “Itu anak Abdullah, keponakan Abu Thalib. Dia
selalu tampak tenang.”
Ucapan itu tersebar di kalangan Quraisy, dan semakin banyak yang
mempercayakan ternak mereka kepada beliau.
Sejak remaja, Nabi Muhammad SAW dikenal karena
pekerjaannya itu. Ia tidak malu menjadi penggembala. Pagi berangkat, sore
pulang, begitu terus setiap hari. Tidak ada keluhan dari bibirnya. Wajahnya
selalu bersih, matanya lembut, dan senyumnya menenangkan siapa pun yang
melihat.
Ketika beliau beranjak dewasa dan mulai
berdagang, kenangan masa menggembala itu tidak pernah hilang. Banyak orang
Quraisy yang masih mengingat bagaimana dulu beliau menjaga kambing mereka
dengan jujur dan rajin. Di antara mereka ada yang berkata,
“Kami mengenalnya sejak muda, ia adalah orang yang paling dapat dipercaya di
antara kami.”
Maka sejak masa kecil hingga remaja, kehidupan
Nabi Muhammad SAW selalu dipenuhi kerja keras dan ketulusan. Beliau membantu
pamannya secara lahir, dan juga menjaga nama baik keluarga dengan tanggung
jawab. Tidak ada satu pun kisah yang menceritakan beliau lalai, bermain-main
berlebihan, atau menyia-nyiakan pekerjaan. Semuanya dikerjakan dengan penuh
ketenangan dan kesungguhan.
Setiap hari, beliau berangkat membawa tongkat,
tali, dan kawanan kambing. Setiap sore, beliau pulang dengan langkah mantap dan
hasil kerja yang sempurna. Orang-orang yang melihatnya tidak tahu bahwa anak
muda itu kelak akan menjadi Rasul yang mengubah dunia, tetapi semua yang
mengenalnya sepakat bahwa tidak ada seorang pun di Makkah yang lebih jujur,
lebih tenang, dan lebih dapat dipercaya daripada Muhammad bin Abdullah.

0 Reviews :
Posting Komentar