Beberapa tahun setelah peristiwa Perang Fijar berakhir, Makkah mulai kembali tenang. Kota itu tetap menjadi pusat perdagangan dan pertemuan berbagai kabilah Arab. Di tengah hiruk-pikuk pasar dan kesibukan para pedagang, kehidupan masyarakat Makkah saat itu masih sangat dipengaruhi oleh sistem kabilah. Kekuatan seseorang diukur dari besar kecilnya suku dan seberapa berpengaruh keluarganya. Di antara kekuasaan dan kebanggaan itu, keadilan sering kali menjadi barang langka. Orang yang kuat selalu menang, sedangkan orang yang lemah sering tertindas.
Pada masa itu, Muhammad bin Abdullah telah berusia sekitar dua puluh tahun. Ia sudah dikenal di kalangan Quraisy sebagai sosok muda yang jujur, berakhlak tenang, dan tidak pernah terlibat dalam perbuatan yang memalukan. Makkah kala itu memiliki berbagai tempat penting: rumah-rumah para saudagar besar, pasar Ukaz, dan tentu saja Ka'bah, yang menjadi pusat keagamaan sekaligus kebanggaan bangsa Arab. Di antara hiruk-pikuk itu, suatu peristiwa terjadi yang mengguncang nurani masyarakat Makkah.
Seorang pedagang dari Yaman datang ke Makkah membawa barang dagangan yang berharga. Ia menjual sebagian hasil perniagaannya kepada seorang bangsawan Quraisy dari Bani Sahm yang bernama Al-‘Ash bin Wa’il. Setelah menerima barang, Al-‘Ash menolak membayar harga yang telah disepakati. Pedagang Yaman itu menuntut haknya, tetapi Al-‘Ash malah menertawakannya. Ia berkata dengan sombong, “Engkau hanyalah orang asing di Makkah, dan aku dari kaum yang tidak bisa disentuh.”
Pedagang itu tidak punya pelindung. Ia mencoba mengadu kepada para pemuka Quraisy lainnya, tetapi tak seorang pun berani menentang Al-‘Ash. Dalam keputusasaan, pedagang itu naik ke atas bukit di dekat Ka'bah. Dengan suara lantang ia menyeru kepada seluruh penduduk Makkah tentang ketidakadilan yang menimpanya. Ia berseru, “Wahai kaum Quraisy, tidakkah kalian malu membiarkan seorang asing dirampas haknya di tanah suci ini? Di mana kehormatan kalian?”
Seruan itu menggema di antara bangunan-bangunan batu Makkah. Beberapa orang mendengar dan merasa terusik. Di antara mereka adalah Zubair bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah SAW. Ia merasa marah melihat ketidakadilan semacam itu terjadi di kota mereka yang seharusnya dijaga kehormatannya. Maka ia mengundang para tokoh Quraisy yang masih memiliki rasa keadilan untuk berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an, seorang tokoh terpandang yang dikenal murah hati dan sering menjamu para tamu.
Pertemuan itu dihadiri oleh perwakilan dari beberapa kabilah besar, di antaranya Bani Hasyim, Bani Zuhrah, Bani Taim, Bani Muththalib, dan beberapa dari Bani Asad. Muhammad bin Abdullah yang saat itu masih muda juga ikut hadir bersama pamannya, Zubair. Pertemuan itu berlangsung dengan suasana serius. Para tokoh Quraisy duduk melingkar di ruang utama rumah Abdullah bin Jud’an, yang besar dan dikenal sering menjadi tempat majelis penting.
Abdullah bin Jud’an menyembelih unta dan menyediakan makanan sebagai bentuk penghormatan bagi mereka yang datang. Setelah makan, Zubair berdiri dan berbicara lantang, “Wahai kaum Quraisy, kita hidup di negeri yang dimuliakan. Ka'bah ada di tengah kita. Bagaimana mungkin kita membiarkan kezaliman di depan mata tanpa berbuat apa-apa? Apakah kehormatan kita tidak lebih tinggi daripada kerakusan seorang penipu?”
Kata-kata itu membakar semangat semua yang hadir. Maka mereka sepakat membuat sebuah perjanjian untuk menegakkan keadilan dan membela siapa pun yang tertindas, tanpa memandang suku, asal, atau kekayaan. Perjanjian itu disebut Hilf al-Fudhul, yang artinya “Perjanjian Kebajikan” atau “Perjanjian Orang-Orang yang Berbudi Luhur.”
Dinamakan demikian karena orang-orang yang terlibat di dalamnya dianggap memiliki fadl (keutamaan, kebaikan). Mereka berjanji di hadapan Ka'bah bahwa mereka akan berdiri bersama siapa pun yang dizalimi sampai haknya dikembalikan, dan mereka akan menentang siapa pun yang berbuat aniaya, meskipun berasal dari kabilah mereka sendiri.
Dalam majelis itu, mereka mengangkat tangan mereka dan bersumpah atas nama Allah, bahwa mulai hari itu mereka tidak akan membiarkan kezaliman berkuasa di Makkah. Setelah sumpah itu diucapkan, para tokoh Quraisy membawa pedagang Yaman itu dan bersama-sama memaksa Al-‘Ash bin Wa’il untuk mengembalikan barang yang telah ia ambil tanpa membayar. Tidak ada yang berani melawan karena semua kabilah yang hadir berdiri di sisi pedagang itu. Akhirnya, haknya dikembalikan, dan berita tentang peristiwa tersebut menyebar ke seluruh Makkah.
Hilf al-Fudhul menjadi buah bibir di kalangan Quraisy. Banyak yang memuji langkah itu, meskipun sebagian lainnya mencibir, terutama mereka yang memiliki kepentingan dengan sistem kabilah yang zalim. Namun, bagi banyak orang, perjanjian itu menjadi tanda bahwa masih ada kehormatan dan keadilan di tengah masyarakat yang keras.
Muhammad bin Abdullah, yang saat itu masih muda, menyaksikan semua itu dengan seksama. Ia ikut menandatangani perjanjian bersama para pemuka Quraisy. Dalam pertemuan itu, beliau tidak banyak bicara, tetapi perannya dicatat dengan jelas oleh mereka yang hadir. Setelah perjanjian selesai, mereka menyentuh air zamzam sebagai tanda pengukuhan sumpah mereka. Beberapa di antara mereka bahkan menulis isi perjanjian itu di lembaran kulit dan menggantungnya di dinding Ka'bah sebagai simbol komitmen.
Sejak saat itu, siapa pun yang datang ke Makkah dan merasa tertindas dapat memohon perlindungan kepada anggota Hilf al-Fudhul. Tidak peduli dari suku mana ia berasal, selama ia benar, ia akan dibela. Dan selama beberapa waktu setelah itu, tidak ada lagi kasus kezaliman besar yang dibiarkan tanpa tindakan.
Rumah Abdullah bin Jud’an menjadi saksi peristiwa besar itu. Di antara para tokoh Quraisy, Zubair bin Abdul Muththalib dikenang sebagai penggerak utama, sementara Muhammad bin Abdullah disebut sebagai peserta termuda yang turut menandatangani perjanjian.
Beberapa tahun kemudian, setelah Muhammad diangkat menjadi Rasul, beliau masih mengenang peristiwa itu. Dalam berbagai kesempatan, beliau menceritakan bahwa beliau pernah ikut dalam perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an, dan beliau tidak akan menukarnya dengan apa pun. Namun pada masa itu, ketika peristiwa masih segar, Muhammad hanya dikenal sebagai pemuda jujur yang ikut menegakkan keadilan di tengah kota Makkah yang dipenuhi dengan kebanggaan suku dan kekuasaan.
Demikianlah kisah Hilf al-Fudhul, perjanjian mulia yang disepakati oleh para tokoh Quraisy di masa jahiliyah. Di dalamnya tercatat nama-nama orang terhormat yang menolak tunduk kepada kezaliman. Di antara mereka, berdiri satu sosok muda dari Bani Hasyim yang kelak menjadi pembawa risalah bagi seluruh umat manusia. Namun pada masa itu, ia hanya dikenal dengan satu gelar yang telah melekat di hati semua orang Makkah—Al-Amin, si Terpercaya.

0 Reviews :
Posting Komentar