DREAMNEWS ALOR

Banom NU Alor Gelar Santunan Sosial di Momen Hari Santri Nasional 2025

Kisah Perang Fijar, Lembaran Darah di Tanah Arab Sebelum Kenabian #Bagian 20





Sebelum turunnya wahyu pertama, jazirah Arab adalah wilayah yang keras, panas, dan penuh pertikaian. Suku-suku hidup dengan rasa bangga pada garis keturunan, kehormatan, dan keberanian. Dalam masyarakat seperti itu, pertumpahan darah sering kali dianggap sah demi mempertahankan harga diri. Di tengah suasana sosial seperti itulah terjadi
Perang Fijar, sebuah konflik besar yang melibatkan beberapa kabilah terkuat di Makkah dan sekitarnya — termasuk suku Quraisy tempat Nabi Muhammad ﷺ berasal.

Latar Belakang: Dari Pasar ke Medan Perang

Kisah perang bermula dari Pasar ‘Ukaz, salah satu pasar terbesar di Arab. Pasar itu selain tempat perdagangan pasar ‘Ukaz juga pusat budaya tempat para penyair bersaing, para orator berdiskusi, dan kabilah-kabilah menunjukkan kemegahannya. Namun suasana damai pasar ‘Ukaz suatu ketika berubah menjadi panas karena pembunuhan yang menyalakan api perang.

Dikisahkan, seorang pria dari kabilah Bani Kinânah bernama Barad bin Qais memiliki permusuhan pribadi dengan Urwah ar-Rahhal, seorang dari kabilah Hawâzin, sekutu Bani Qais Aylan. Ketika Urwah datang ke pasar ‘Ukaz dalam bulan-bulan suci bulan yang diharamkan untuk berperang Barad membunuhnya secara tiba-tiba. Tindakan itu mengguncang seluruh wilayah karena dilakukan pada masa yang disebut asyhurul hurum (bulan-bulan suci), yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.

Dalam tradisi Arab, menumpahkan darah pada bulan-bulan itu dianggap dosa besar dan pelanggaran kehormatan agama leluhur. Karena itu, perang yang menyusul setelahnya disebut “Fijar” yang berarti “perang kefasikan” atau “perang pelanggar kesucian.”

Pihak yang Terlibat, Quraisy dan Kinanah vs Qais Aylan

Setelah pembunuhan itu, suku-suku besar pun terpecah. Di satu pihak berdiri Bani Kinanah bersama sekutunya, termasuk Quraisy  suku Nabi Muhammad ﷺ. Di pihak lain, berkumpul Bani Qais Aylan, termasuk suku-suku kuat seperti Hawazin dan Thaqif. Kedua kubu sama-sama memiliki pasukan besar dan reputasi keberanian.

Abu Thalib, paman Nabi, ikut bergabung bersama Quraisy untuk membela sekutunya. Meskipun Nabi Muhammad ﷺ saat itu masih muda, sekitar usia 14 atau 15 tahun, beliau turut serta dalam peristiwa besar itu. Namun bukan sebagai pejuang utama, sebab beliau tidak diizinkan memegang pedang atau ikut bertempur langsung.

Tugas Nabi muda adalah mengumpulkan anak panah dari medan perang dan menyerahkannya kepada para paman serta prajurit Quraisy. Dalam kesaksian beliau sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam, Rasulullah ﷺ pernah berkata:

“Aku hadir dalam Perang Fijar bersama paman-pamanku. Aku tidak memanah, tapi aku mengumpulkan anak-anak panah yang jatuh dan menyerahkannya kepada mereka.”

Jalannya Perang: Empat Gelombang Pertempuran

Perang Fijar tidak terjadi dalam satu hari. Ia berlangsung dalam empat gelombang pertempuran selama beberapa tahun, dengan intensitas yang berbeda-beda.

  1. Fijar Pertama terjadi antara Bani Kinanah dan Hawazin, tetapi berakhir cepat karena ada mediasi di antara pemuka suku.
  2. Fijar Kedua dan Ketiga kembali meletus karena dendam lama dan saling serang di wilayah sekitar Makkah.
  3. Fijar Keempat adalah yang paling sengit dan paling bersejarah di sinilah Muhammad ﷺ hadir.

Dalam gelombang keempat ini, kedua pihak benar-benar mengerahkan seluruh kekuatan. Pertempuran besar terjadi di daerah Nakhlah dekat Taif. Panas matahari menyengat, pasir beterbangan, dan teriakan perang menggema di seluruh lembah. Pedang beradu, tombak melesat, dan darah tumpah di tanah yang semestinya suci.

Quraisy dan Kinanah berperang dengan penuh semangat, sementara Qais Aylan berusaha mempertahankan kehormatan sukunya. Pertempuran itu memakan banyak korban, baik dari kalangan pemimpin maupun rakyat biasa. Namun akhirnya, Kinanah dan Quraisy berhasil memenangkan perang setelah pertempuran sengit itu.

Dampak Sosial dan Moral

Meskipun Quraisy memenangkan pertempuran, Perang Fijar meninggalkan luka moral yang mendalam. Sebab perang itu telah mencoreng kesucian bulan-bulan haram. Bahkan bagi orang Arab sendiri, kemenangan itu terasa pahit karena mereka sadar telah melanggar adat dan nilai leluhur. Mereka menyesali darah yang ditumpahkan tanpa alasan yang benar.

Bagi Nabi Muhammad ﷺ, pengalaman menyaksikan perang ini meninggalkan kesan yang sangat kuat. Beliau menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana kebencian dan kebanggaan suku bisa mengubah manusia menjadi kejam. Dari situ, beliau belajar betapa berharganya perdamaian dan betapa rapuhnya kehormatan manusia ketika terjebak dalam ego kabilah.

Kisah Perang Fijar menjadi salah satu alasan mengapa setelah diangkat menjadi Rasul, beliau sangat menentang pertumpahan darah, permusuhan antar suku, dan dendam kesukuan. Rasulullah ﷺ datang membawa pesan yang justru memadamkan api jahiliyah yang ia saksikan sendiri sejak remaja.

Pelajaran yang Ditanamkan Sejak Dini

Dalam pandangan para ulama sirah, kehadiran Nabi muda dalam Perang Fijar bukan kebetulan. Itu adalah bagian dari tadrîb ilâhî  latihan ketuhanan, sebuah pendidikan jiwa yang Allah tanamkan sejak dini. Dari situ, beliau belajar tentang realitas dunia: tentang kekuasaan, keserakahan, dan kehancuran akibat hawa nafsu manusia.

Beliau belajar dari jauh, dengan hati yang bersih, tentang betapa rapuhnya sistem sosial tanpa moral dan wahyu. Itulah mengapa ketika kelak beliau menjadi Rasul, pesan pertamanya kepada umat manusia adalah tentang rahmat dan kasih sayang, bukan peperangan.

Setelah Perang Fijar berakhir, orang-orang Quraisy menyadari bahwa hidup tanpa keadilan dan aturan Ilahi hanya membawa kehancuran. Maka beberapa tahun kemudian, terbentuklah Hilf al-Fudhul, sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an untuk membela orang tertindas. Nabi Muhammad ﷺ juga ikut dalam perjanjian itu, dan setelah menjadi Rasul, beliau masih mengenangnya dengan penuh kebanggaan, bersabda:

“Aku pernah menyaksikan sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an. Seandainya aku diajak kepada perjanjian seperti itu di masa Islam, niscaya aku akan menyambutnya.”

Hilf al-Fudhul adalah jawaban moral atas pengalaman kelam dari Perang Fijar. Dari situ lahirlah semangat keadilan dan kemanusiaan yang menjadi inti dakwah Islam.

Hikmah:

Dari Perang Fijar, kita belajar bahwa kehormatan sejati bukanlah ketika pedang terhunus, tetapi ketika hati mampu menahan amarah dan memilih jalan damai. Nabi ﷺ, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, telah memperlihatkan kecintaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang suci.

 

About PENDIDIKAN UNTUK NEGERI

The Dreamnews Alor Community is a community established on February 12, 2022, by six founders: Mukmin, Asmar, Bunda, Dhian, Tyadiana, and Hadat. Its main goal is to improve literacy and numeracy for children in remote areas of the country, especially in regions far from the city and with limited access to education. The community focuses on the fields of education, social issues, religion, politics, and other areas.

0 Reviews :