Latar Belakang: Dari Pasar ke Medan
Perang
Kisah perang bermula dari Pasar ‘Ukaz, salah satu pasar terbesar di Arab.
Pasar itu selain tempat perdagangan pasar ‘Ukaz juga pusat budaya tempat para
penyair bersaing, para orator berdiskusi, dan kabilah-kabilah menunjukkan
kemegahannya. Namun suasana damai pasar ‘Ukaz suatu ketika berubah menjadi
panas karena pembunuhan yang menyalakan api perang.
Dikisahkan, seorang pria dari kabilah Bani Kinânah bernama Barad bin Qais
memiliki permusuhan pribadi dengan Urwah ar-Rahhal, seorang dari kabilah Hawâzin,
sekutu Bani Qais Aylan. Ketika Urwah datang ke pasar ‘Ukaz dalam
bulan-bulan suci bulan yang diharamkan untuk berperang Barad membunuhnya secara
tiba-tiba. Tindakan itu mengguncang seluruh wilayah karena dilakukan pada masa
yang disebut asyhurul hurum (bulan-bulan suci), yakni Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Dalam tradisi Arab, menumpahkan darah pada bulan-bulan itu dianggap dosa
besar dan pelanggaran kehormatan agama leluhur. Karena itu, perang yang
menyusul setelahnya disebut “Fijar” yang berarti “perang kefasikan” atau
“perang pelanggar kesucian.”
Pihak yang Terlibat, Quraisy dan
Kinanah vs Qais Aylan
Setelah pembunuhan itu, suku-suku besar pun terpecah. Di satu pihak
berdiri Bani Kinanah bersama sekutunya, termasuk Quraisy suku Nabi Muhammad ﷺ. Di pihak lain, berkumpul
Bani Qais Aylan, termasuk suku-suku kuat seperti Hawazin dan Thaqif. Kedua kubu
sama-sama memiliki pasukan besar dan reputasi keberanian.
Abu Thalib, paman Nabi, ikut bergabung bersama Quraisy untuk membela
sekutunya. Meskipun Nabi Muhammad ﷺ saat itu masih muda, sekitar usia 14 atau
15 tahun, beliau turut serta dalam peristiwa besar itu. Namun bukan sebagai
pejuang utama, sebab beliau tidak diizinkan memegang pedang atau ikut bertempur
langsung.
Tugas Nabi muda adalah mengumpulkan anak panah dari medan perang dan
menyerahkannya kepada para paman serta prajurit Quraisy. Dalam kesaksian beliau
sendiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam, Rasulullah ﷺ pernah
berkata:
“Aku hadir dalam Perang Fijar bersama paman-pamanku. Aku tidak memanah,
tapi aku mengumpulkan anak-anak panah yang jatuh dan menyerahkannya kepada
mereka.”
Jalannya Perang: Empat Gelombang
Pertempuran
Perang Fijar tidak terjadi dalam satu hari. Ia berlangsung dalam empat
gelombang pertempuran selama beberapa tahun, dengan intensitas yang
berbeda-beda.
- Fijar Pertama
terjadi antara Bani Kinanah dan Hawazin, tetapi berakhir cepat karena ada
mediasi di antara pemuka suku.
- Fijar Kedua dan
Ketiga kembali meletus karena dendam lama dan saling serang di wilayah
sekitar Makkah.
- Fijar Keempat
adalah yang paling sengit dan paling bersejarah di sinilah Muhammad ﷺ
hadir.
Dalam gelombang keempat ini, kedua pihak benar-benar mengerahkan seluruh
kekuatan. Pertempuran besar terjadi di daerah Nakhlah dekat Taif. Panas
matahari menyengat, pasir beterbangan, dan teriakan perang menggema di seluruh
lembah. Pedang beradu, tombak melesat, dan darah tumpah di tanah yang
semestinya suci.
Quraisy dan Kinanah berperang dengan penuh semangat, sementara Qais Aylan
berusaha mempertahankan kehormatan sukunya. Pertempuran itu memakan banyak
korban, baik dari kalangan pemimpin maupun rakyat biasa. Namun akhirnya, Kinanah
dan Quraisy berhasil memenangkan perang setelah pertempuran sengit itu.
Dampak Sosial dan Moral
Meskipun Quraisy memenangkan pertempuran, Perang Fijar meninggalkan luka
moral yang mendalam. Sebab perang itu telah mencoreng kesucian bulan-bulan
haram. Bahkan bagi orang Arab sendiri, kemenangan itu terasa pahit karena
mereka sadar telah melanggar adat dan nilai leluhur. Mereka menyesali darah
yang ditumpahkan tanpa alasan yang benar.
Bagi Nabi Muhammad ﷺ, pengalaman menyaksikan perang ini meninggalkan
kesan yang sangat kuat. Beliau menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana
kebencian dan kebanggaan suku bisa mengubah manusia menjadi kejam. Dari situ,
beliau belajar betapa berharganya perdamaian dan betapa rapuhnya kehormatan
manusia ketika terjebak dalam ego kabilah.
Kisah Perang Fijar menjadi salah satu alasan mengapa setelah diangkat
menjadi Rasul, beliau sangat menentang pertumpahan darah, permusuhan antar
suku, dan dendam kesukuan. Rasulullah ﷺ datang membawa pesan yang justru
memadamkan api jahiliyah yang ia saksikan sendiri sejak remaja.
Pelajaran yang Ditanamkan Sejak Dini
Dalam pandangan para ulama sirah, kehadiran Nabi muda dalam Perang Fijar
bukan kebetulan. Itu adalah bagian dari tadrîb ilâhî latihan ketuhanan, sebuah pendidikan jiwa yang
Allah tanamkan sejak dini. Dari situ, beliau belajar tentang realitas dunia:
tentang kekuasaan, keserakahan, dan kehancuran akibat hawa nafsu manusia.
Beliau belajar dari jauh, dengan hati yang bersih, tentang betapa
rapuhnya sistem sosial tanpa moral dan wahyu. Itulah mengapa ketika kelak
beliau menjadi Rasul, pesan pertamanya kepada umat manusia adalah tentang rahmat
dan kasih sayang, bukan peperangan.
Setelah Perang Fijar berakhir, orang-orang Quraisy menyadari bahwa hidup
tanpa keadilan dan aturan Ilahi hanya membawa kehancuran. Maka beberapa tahun
kemudian, terbentuklah Hilf al-Fudhul, sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin
Jud’an untuk membela orang tertindas. Nabi Muhammad ﷺ juga ikut dalam
perjanjian itu, dan setelah menjadi Rasul, beliau masih mengenangnya dengan
penuh kebanggaan, bersabda:
“Aku pernah menyaksikan sebuah perjanjian di rumah Abdullah bin Jud’an.
Seandainya aku diajak kepada perjanjian seperti itu di masa Islam, niscaya aku
akan menyambutnya.”
Hilf al-Fudhul adalah jawaban moral atas pengalaman kelam dari Perang
Fijar. Dari situ lahirlah semangat keadilan dan kemanusiaan yang menjadi inti
dakwah Islam.
Hikmah:
Dari Perang Fijar, kita belajar bahwa kehormatan sejati bukanlah ketika
pedang terhunus, tetapi ketika hati mampu menahan amarah dan memilih jalan
damai. Nabi ﷺ, bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul, telah memperlihatkan
kecintaan pada nilai-nilai kemanusiaan yang suci.

0 Reviews :
Posting Komentar