Ketika Abdul Muththalib wafat, Rasulullah kecil berusia sekitar delapan tahun. Kepergian kakek yang sangat mencintainya itu kembali meninggalkan luka mendalam. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib telah berpesan dengan tegas agar cucunya diasuh oleh Abu Thalib, putra keempatnya. Pilihan yang diperbuat bukan tanpa alasan.
Abu Thalib dikenal sebagai seorang yang lembut
hati, penuh kasih, dan sangat peduli terhadap keluarganya. Meski bukan anak
terkaya di antara saudara-saudaranya, ia memiliki hati yang tulus, jiwa yang
penuh belas kasih, dan kesetiaan yang kuat. Abdul Muththalib yakin, Rasulullah
kecil akan mendapatkan kasih sayang yang tulus di bawah asuhan Abu Thalib.
Sejak itu, Abu Thalib mengambil tanggung jawab
penuh untuk merawat dan membesarkan Rasulullah. Meskipun kehidupannya sendiri
sederhana dan tidak bergelimang harta, ia tidak pernah mengeluh dalam merawat
keponakannya. Bahkan, ia memperlakukan Rasulullah lebih dari anak kandungnya
sendiri.
Sejak hari
pertama Rasulullah
tinggal bersamanya, Abu Thalib menunjukkan rasa cinta dan perhatian yang
mendalam. Ia selalu mengutamakan Rasulullah dibandingkan dengan anak-anaknya sendiri. Jika ada
makanan, maka Rasulullah
yang didahulukan. Jika ada kebutuhan, maka kebutuhan Rasulullah yang diutamakan.
Riwayat menyebutkan, dalam rumah tangga Abu Thalib yang sederhana, kadang
makanan tidak cukup untuk semua anggota keluarga. Namun Rasulullah kecil diberi
jatah khusus, bahkan sering kali apa yang dimakan Rasulullah terasa lebih
nikmat dan mencukupi untuk orang lain. Seolah-olah keberkahan hadir melalui
dirinya.
Abu Thalib juga selalu membawa Rasulullah
dalam berbagai aktivitas. Baik dalam urusan keluarga, pertemuan suku, maupun
perjalanan dagang, beliau tidak pernah membiarkan Rasulullah jauh darinya.
Kasih sayangnya begitu besar, hingga setiap malam ia menidurkan Rasulullah di
dekat tempat tidurnya sendiri. Ia merasa lebih tenteram bila mengetahui Rasulullah
berada di sisinya.
Salah satu kisah paling terkenal dari masa asuhan Abu Thalib adalah ketika
ia mengajak Rasulullah, yang saat itu berusia sekitar dua belas tahun, dalam
perjalanan dagang menuju Syam. Perjalanan itu menjadi pengalaman penting
sekaligus titik awal firasat tentang masa depan Rasulullah sebagai seorang
Nabi.
Dalam perjalanan itu, kafilah Quraisy singgah
di daerah Busra, di dekat Syam. Di sana, mereka bertemu dengan seorang rahib
bernama Buhaira. Rahib tersebut dikenal memiliki pengetahuan tentang
kitab-kitab terdahulu. Ketika melihat Rasulullah kecil, ia memperhatikan
tanda-tanda kenabian yang ada pada dirinya. Ia melihat cahaya di wajahnya,
kesopanannya, dan bahkan tanda kenabian di punggungnya.
Buhaira kemudian memperingatkan Abu Thalib
agar menjaga keponakannya dengan baik, karena kelak ia akan menjadi seorang
nabi besar. Rahib itu juga memperingatkan akan adanya bahaya dari bangsa-bangsa
lain yang bisa saja mencelakai Rasulullah. Mendengar hal itu, Abu Thalib
semakin yakin untuk melindungi Rasulullah dengan segenap jiwa dan raganya. Ia
pun memutuskan untuk mempercepat perjalanan pulang ke Mekah agar keponakannya
aman.
Kasih sayang Abu Thalib tidak berhenti ketika Rasulullah kecil beranjak
dewasa. Hingga usia remaja dan dewasa, Abu Thalib tetap memberikan perhatian
yang besar. Ketika Rasulullah tumbuh menjadi seorang pemuda yang terpercaya, Abu
Thalib sering mengandalkannya dalam berbagai urusan. Bahkan, beliau yang
mempertemukan Rasulullah dengan Khadijah melalui perjalanan dagang.
Ketika Rasulullah diangkat menjadi Rasul, Abu
Thalib sudah berusia lanjut. Namun kesetiaan dan cintanya kepada keponakannya
tidak pernah pudar. Meskipun ia sendiri tidak masuk Islam hingga akhir
hayatnya, Abu Thalib menjadi benteng pertahanan Rasulullah dari gangguan kaum
Quraisy. Ia berdiri tegak membela Rasulullah, menolak tekanan dan ancaman para
pemuka Quraisy, bahkan rela menanggung boikot sosial demi melindungi beliau.
Salah satu bentuk nyata kasih sayang Abu Thalib adalah ketika Rasulullah SAW
dan para pengikutnya mengalami boikot sosial ekonomi oleh kaum Quraisy. Semua
hubungan dagang dan sosial diputuskan, sehingga kaum Muslimin terpaksa
berlindung di sebuah lembah terpencil yang dikenal dengan sebutan Syi’b Abi Thalib.
Selama bertahun-tahun, Abu Thalib ikut
merasakan penderitaan itu. Meski ia sendiri sudah tua, ia rela menanggung
kesulitan demi menemani Rasulullah. Bahkan setiap malam, Abu Thalib sering
memindahkan tempat tidur Nabi dari satu tempat ke tempat lain agar terhindar
dari kemungkinan serangan musuh.
Setelah sekian lama mendampingi Rasulullah, akhirnya Abu Thalib wafat pada
usia lanjut. Kepergiannya menjadi duka mendalam bagi Nabi Rasulullah SAW. Tahun
wafatnya Abu Thalib bersamaan dengan wafatnya istri tercinta Khadijah, sehingga
tahun itu dikenal sebagai ‘Am al-Huzn
atau “Tahun Kesedihan.”
Rasulullah kehilangan dua figur terpenting
yang selalu memberikan perlindungan dan dukungan. Abu Thalib, meski tidak
mengucapkan syahadat, tetap dikenang sebagai sosok penuh kasih sayang yang
melindungi Rasulullah sejak kecil hingga dewasa.

0 Reviews :
Posting Komentar