Perjalanan hidup Nabi Rasulullah SAW adalah sebuah rangkaian kisah yang sarat dengan ujian, tetapi juga penuh dengan kasih sayang dan perhatian dari orang-orang terdekat. Salah satu bagian penting dalam kehidupan beliau adalah masa ketika diasuh oleh kakeknya, Abdul Muththalib bin Hasyim. Periode tersebut memberikan gambaran yang begitu menyentuh tentang betapa Allah senantiasa menjaga dan menyiapkan Nabi-Nya, meski sejak kecil beliau harus merasakan pahitnya menjadi yatim piatu.
Kehilangan Sejak Dini
Rasulullah lahir pada tahun yang dikenal dengan sebutan ‘Am al-Fil
atau Tahun Gajah, yakni sekitar tahun 570 Masehi. Ayahnya, Abdullah bin Abdul
Muththalib, wafat ketika Rasulullah masih berada dalam kandungan ibunya, Aminah
binti Wahab. Dengan demikian, sejak lahir beliau sudah menjadi yatim. Kasih
sayang yang diberikan Aminah begitu besar, namun tidak berlangsung lama. Ketika
Rasulullah berusia sekitar enam tahun, ibunya meninggal dunia di sebuah tempat
bernama Abwa’, dalam perjalanan dari Madinah menuju Mekah.
Duka yang begitu dalam meliputi hati seorang anak kecil yang baru saja
merasakan hangatnya dekapan seorang ibu, lalu harus rela ditinggalkan untuk
selamanya. Sejak saat itu, Rasulullah kecil benar-benar menjadi yatim piatu. Tidak
ada lagi sosok ayah, tidak ada lagi sosok ibu. Dalam keadaan seperti itu, Allah
menyiapkan seorang figur pengganti: kakeknya, Abdul Muththalib.
Sosok Abdul Muththalib, Pemimpin Quraisy
Abdul Muththalib adalah salah seorang pemimpin Quraisy yang sangat
disegani. Dialah penjaga Ka’bah sekaligus pemimpin yang dikenal tegas,
berwibawa, dan dihormati oleh seluruh kabilah di Mekah. Kisah keberaniannya
ketika menghadapi pasukan bergajah Abrahah masih melekat kuat dalam ingatan
masyarakat Mekah. Ketika Ka’bah hendak dihancurkan, ia dengan penuh keyakinan
menyerahkan perlindungan Ka’bah kepada Allah, karena Ka’bah adalah rumah
suci-Nya. Keimanan dan keteguhan inilah yang menjadikan sosoknya sangat
dihormati.
Sebagai pemimpin, Abdul Muththalib memiliki banyak anak dan cucu. Namun, Rasulullah
kecil memiliki tempat istimewa di hatinya. Seorang anak yang sejak awal
memancarkan cahaya keistimewaan. Abdul Muththalib seakan merasakan firasat
bahwa cucunya kelak akan menjadi seseorang yang sangat besar.
Kasih Sayang yang Berbeda
Setelah Aminah wafat, Rasulullah kecil diserahkan ke dalam asuhan Abdul
Muththalib. Sejak hari pertama, sang kakek memperlakukan cucunya itu dengan
penuh cinta dan perhatian yang luar biasa. Ia sering mengajak Rasulullah duduk
bersamanya di dekat Ka’bah, sebuah tempat yang dianggap paling suci dan
terhormat.
Ada sebuah kebiasaan unik. Abdul Muththalib memiliki tikar khusus yang
digelar di dekat Ka’bah. Tidak ada seorang pun dari anak-anak atau cucunya yang
boleh duduk di atas tikar itu, karena dianggap sebagai tempat kehormatan. Ketika
Rasulullah kecil mencoba mendekat dan duduk di situ, para paman segera melarangnya.
Mereka menegur karena menganggap hal itu tidak pantas. Akan tetapi, Abdul
Muththalib selalu membela cucunya, sambil berkata dengan penuh kasih:
“Biarkan dia. Demi Allah, anak ini kelak akan menjadi orang besar.”
Sejak kecil, Rasulullah memang berbeda. Wajahnya bercahaya, tutur katanya
lembut, gerak-geriknya penuh wibawa. Ia tidak pernah berlebihan dalam bermain seperti
anak-anak lain. Ketika bersama orang dewasa, ia tetap tenang dan berperilaku
sopan.
Kehidupan di Bawah Asuhan Kakek
Hari-hari Rasulullah bersama Abdul Muththalib adalah masa yang penuh
dengan kehangatan. Sang kakek sering membawanya ke majelis para pemimpin
Quraisy. Meski masih anak-anak, Rasulullah diperkenalkan dengan dunia
kepemimpinan, musyawarah, dan kebijakan. Dari sini beliau belajar bagaimana
seorang pemimpin mengambil keputusan, menjaga kehormatan, dan menegakkan
martabat suku.
Selain itu, Rasulullah juga menyaksikan kakeknya dalam peran sebagai
penjaga Ka’bah. Ia melihat bagaimana Abdul Muththalib menjaga kehormatan rumah
Allah, bagaimana ia disegani masyarakat, dan bagaimana ia berlaku adil dalam
berbagai urusan. Semua pengalaman itu secara tidak langsung menjadi pelajaran
berharga yang tertanam dalam jiwa Rasulullah kecil.
Tidak hanya memberi teladan, Abdul Muththalib juga selalu memperhatikan
kebutuhan hidup cucunya. Ia memastikan Rasulullah tidak kekurangan, memberi
perhatian khusus, bahkan melebihi cucu-cucu lainnya. Ketika Rasulullah
berjalan, kakeknya memandanginya dengan mata penuh cinta. Ia selalu berusaha
melindungi cucu kesayangannya dari segala bahaya.
Firasat Besar dalam
Diri Rasulullah
Kasih sayang yang diberikan Abdul Muththalib bukanlah tanpa alasan. Ia
merasa bahwa ada sesuatu yang luar biasa dalam diri cucunya. Keyakinan tersebut
semakin kuat ketika ia melihat Rasulullah kecil tumbuh dengan akhlak yang
berbeda dari anak-anak lainnya. Ia tidak pernah berdusta, tidak pernah berbuat
nakal, dan selalu menampakkan sikap yang menyejukkan hati.
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Abdul Muththalib sering merenung
tentang masa depan cucunya. Ia merasa bahwa Allah telah menyiapkan Rasulullah
untuk tugas besar. Maka, ia berusaha menanamkan nilai-nilai mulia seperti
keberanian, kehormatan, dan rasa hormat kepada orang lain. Namun, takdir Allah
tetap berjalan. Ketika Rasulullah berusia sekitar delapan tahun, Abdul
Muththalib jatuh sakit. Dalam keadaan itu, ia memanggil anak-anaknya dan berpesan
agar cucu yang sangat dicintainya ini diasuh oleh Abu Thalib, salah satu
putranya. Abu Thalib dikenal lembut hati dan memiliki kepekaan sosial yang
tinggi. Ia diyakini mampu melanjutkan kasih sayang Abdul Muththalib terhadap Rasulullah.
Tak lama kemudian, Abdul Muththalib wafat. Kesedihan kembali menyelimuti
hati Rasulullah kecil. Setelah kehilangan ayah dan ibunya, kini ia harus
kehilangan kakek yang selama dua tahun terakhir menjadi pelindung dan pemberi
kasih sayang. Tangis duka mengiringi perpisahan itu. Bagi Rasulullah kecil
kejadian yang dialami adalah kehilangan besar yang sangat menyakitkan.
Warisan Kasih Sayang
Meski hanya sebentar, masa asuhan Abdul Muththalib meninggalkan kesan
mendalam dalam jiwa Nabi Rasulullah SAW. Dari kakeknya, beliau belajar tentang
nilai kepemimpinan, keteguhan, dan cinta yang tulus. Dari cara Abdul Muththalib
memperlakukannya, Rasulullah belajar bahwa kasih sayang adalah fondasi
terpenting dalam membesarkan seorang anak.
Kisah ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa Allah selalu menjaga
Nabi-Nya. Meski beliau kehilangan kedua orang tua sejak kecil, Allah senantiasa
menghadirkan orang-orang yang penuh cinta di sekitarnya. Dari Halymah
as-Sa’diyah sebagai ibu susu, dari Abdul Muththalib sebagai kakek penuh kasih,
hingga Abu Thalib sebagai paman yang melindunginya. Semua adalah bagian dari
rencana besar Allah untuk menyiapkan Rasul terakhir.

0 Reviews :
Posting Komentar