1. Hasyim bin Abdu Manaf – Sang
Peletak Jejak Kemuliaan
Nama aslinya adalah ‘Amr, namun orang-orang Quraisy memanggilnya Hasyim
karena kebiasaannya menghancurkan roti lalu mencampurnya dengan kuah daging
untuk memberi makan jamaah haji. Dari situlah lahir julukan mulia itu.
Hasyim seorang yang dermawan, ia juga negarawan ulung. Pada masanya,
Mekah sudah menjadi pusat peribadatan karena ada Ka‘bah, tapi kondisi
ekonominya belum stabil. Hasyim melihat peluang besar: perdagangan lintas musim.
Ia membuat perjanjian dagang dengan kabilah-kabilah Syam, Yaman, hingga
Habasyah. Quraisy akhirnya punya sistem kafilah dagang musim dingin ke Yaman,
musim panas ke Syam. Mekah pun jadi pusat transit yang ramai.
Selain urusan dagang, Hasyim juga menjaga kehormatan Ka‘bah. Ia memimpin
Quraisy dengan wibawa. Namun, ajal menjemputnya di Gaza (Palestina sekarang),
saat sedang dalam perjalanan dagang. Ia wafat sekitar tahun 497 M, dan
dimakamkan di sana.
Sebelum wafat, ia meninggalkan beberapa anak, salah satunya Syaibah, yang
kelak terkenal dengan nama Abdul Muththalib.
2. Abdul Muththalib bin Hasyim – Sang
Penjaga Sumur Zamzam
Nama kecilnya adalah Syaibah, karena saat lahir rambutnya sudah putih di
beberapa bagian. Ia lahir di Yatsrib (Madinah sekarang) dari pasangan Hasyim
dan Salma binti Amr, seorang perempuan dari kabilah Khazraj.
Ketika ayahnya (Hasyim) wafat, Syaibah kecil diasuh oleh ibunya di
Yatsrib. Ia tumbuh sebagai anak berwibawa, pandai, dan terhormat. Hingga suatu
ketika, pamannya yang bernama Al-Muththalib datang menjemputnya untuk dibawa ke
Mekah. Saat masuk kota Mekah, orang-orang mengira Syaibah adalah budaknya
Al-Muththalib. Sejak saat itu, ia dipanggil Abdul Muththalib (hamba
Al-Muththalib), dan nama itu melekat sepanjang hidupnya.
Abdul Muththalib kemudian menjadi pemimpin Quraisy. Ia terkenal dengan
keberaniannya menggali kembali sumur Zamzam yang sempat tertimbun ratusan
tahun. Meski mendapat tentangan, ia yakin tempat itu suci. Benar saja, setelah
digali, muncul kembali sumber air yang tak pernah kering hingga hari ini.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang religius, masih memegang ajaran tauhid
peninggalan Nabi Ibrahim. Doa-doanya penuh keyakinan. Puncak wibawanya tampak
saat Pasukan Gajah yang dipimpin Abrahah hendak menghancurkan Ka‘bah.
Abrahah merampas unta-unta Abdul Muththalib, dan ketika ia meminta hewan-hewan
itu kembali, Abrahah heran:
"Aku datang menghancurkan rumah sucimu, Ka‘bah, tapi kau hanya
menuntut unta?"
Abdul Muththalib menjawab tegas:
"Aku adalah pemilik unta, maka aku urus untaku. Adapun Ka‘bah, ia
punya Pemilik yang akan menjaganya."
Dan benar, Allah mengutus burung Ababil untuk menggagalkan pasukan gajah.
Peristiwa itu dikenal sebagai Tahun Gajah (570 M) tahun kelahiran cucunya, Nabi
Muhammad SAW.
3. Abdullah bin Abdul Muththalib –
Pemuda Penerus Cahaya
Di antara anak-anak Abdul Muththalib, ada seorang yang paling
dicintainya: Abdullah. Ia dikenal tampan, sopan, rendah hati, dan penuh budi
pekerti. Banyak wanita Quraisy yang ingin menikah dengannya. Namun takdir Allah
menuntunnya kepada Aminah binti Wahb, seorang gadis terhormat dari Bani Zuhrah.
Pernikahan Abdullah dan Aminah menjadi sejarah besar. Dari rahim Aminah,
akan lahir manusia agung yang kelak membawa risalah terakhir bagi umat manusia.
Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Abdullah wafat saat Aminah
sedang mengandung. Dalam perjalanan dagang ke Syam, Abdullah singgah di Yatsrib
dan sakit hingga meninggal. Ia dimakamkan di Madinah, sementara Aminah harus
melanjutkan hidup seorang diri.
Abdullah wafat di usia muda, sekitar 25 tahun, meninggalkan seorang istri
yang tengah hamil. Dari pernikahan singkat itu lahirlah seorang anak yang kelak
diberi nama Muhammad, yang berarti “yang terpuji”.

0 Reviews :
Posting Komentar